BAB 3 SABAR
Bagaimana Nabi saw dan para shahabatnya tabah dan bersabar dalam menghadapi kesulitan, kelaparan, kehausan demi menegakkan agama Allah dan bagaimana kerelaan mereka dalam mengorbankan jiwa demi meninggikan kalimah Allah.
Dari Jubair bin Nufair dari ayahnya, dia menceritakan: Pada suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Miqdad bin Aswad. Tiba-tiba ada seseorang datang dan berkata,” Sungguh beruntung dua mata yang pernah melihat wajah Rasulullah saw. Demi Allah ! Kami ingin sekali melihat wajah beliau sebagaimana engkau telah melihatnya, dan menyaksikan apa yang telah engkau saksikan.”
Miqdad berkata: Mendengar ucapan orang itu aku menjadi marah. Kata Nufair,” Aku heran dengan sikap Miqdad, kenapa dia marah dengan kata-kata orang itu, padahal yang dikatakan orang itu memang benar.”
Kemudian Miqdad mendekati orang itu dan berkata,” Apakah yang menyebabkan seseorang berangan-angan untuk menyaksikan suatu masa yang telah berlalu yang telah dilenyapkan oleh Allah swt, padahal dia tidak mengetahui bagaimana keadaan pada waktu itu? Demi Allah, banyak orang yang melihat Rasulullah saw ketika masih hidup tetapi Allah melemparkan mereka ke dalam neraka Jahannam karena mereka tidak mau menerima ajakan beliau dan tidak membenarkannya. Tidakkah kamu sekarang memuji ( bersyukur ) kepada Allah, karena Allah swt telah mengeluarkan kamu dari kemusyrikan sehingga kamu hanya beriman kepada Allah dan membenarkan ajaran yang dibawa oleh Nabimu saw, serta menyelamatkanmu dari bencana seperti yang ditimpakan kepada mereka? Demi Allah, sesungguhnya Nabi saw diutus di suatu ( tempat dan zaman ) yang keadaannya jauh lebih rusak daripada yang pernah dialami oleh para Nabi sebelumnya. Yaitu pada masa fatrah ( terhentinya wahyu ), yakni jaman jahiliyyah yang pada masa itu tidak ada agama yang dipandang lebih mulia oleh mereka daripada menyembah berhala. Kemudian datanglah Nabi saw membawa Al Furqan untuk memisahkan antara yang haq dan batil, memisahkan antara ayah dengan anaknya. Sehingga seseorang mengira bahwa ayahnya, anaknya, atau saudaranya telah murtad ( dari agama nenek moyang ), padahal yang sebenarnya adalah Allah swt telah membukakan pematri hatinya dengan cahaya iman. Dengan cahaya iman itulah dia mengetahui bahwa sesungguhnya binasalah orang yang masuk neraka. Maka matanya tidak pernah merasa sejuk karena dia mengetahui bahwa sanak familinya berada di dalam neraka. Sesungguhnya inilah yang difirmankan oleh Allah swt dalam Al Qur’an:
“ Ya Tuhan kami, jadikanlah istri-istri kami dan anak cucu kami sebagai penyejuk mata kami.” ( QS Al Furqan: 74 )
( Hadits Riwayat Abu Nu’aim dalam Kitab Al Hilyah jilid 1 hal 175. Thabrani meriwayatkan yang matannya semakna dengan di atas dengan sanad yang banyak. Salah seorang sanadnya bernama Yahya bin Shalih yang menurut Adz Dzahabi, Yahya adalah orang yang tsiqat. Tetapi para ulama hadits memperbincangkan mengenainya. Sedangkan sanad-sanad lainnya adalah shahih seperti yang dikatakan oleh Al Haitsami dalam Kitab Al Majma’ jilid VI hal 17 ).
Perkataan Hudzaifah Berkaitan Dengan Bab Ini
Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, dia menceritakan: Seorang lelaki dari Kuffah berkata kepada Hudzaifah bin Yaman,” Wahai Abu Abdullah! Engkau adalah seorang yang pernah melihat Rasulullah saw dan bersahabat dengan beliau.”
Hudzaifah menjawab,” Ya benar, wahai anak saudaraku.”
Orang itu bertanya,” Apakah yang pernah engkau lakukan bersama dengan beliau?”
Hudzaifah menjawab,” Demi Allah, kami selalu berjuang bersama beliau.”
Orang itu berkata,’ Demi Allah, seandainya kami hidup di masa itu, pasti kami tidak akan membiarkan beliau saw berjalan di atas muka bumi, melainkan kami akan membiarkan beliau saw berjalan di atas pundak-pundak kami.”
Hudzaifah r.a. menjawab,” Demi Allah, wahai anak-anak saudaraku! Kami pernah berjuang bersama Rasulullah saw pada waktu perang Khandaq !” Lalu Hudzaifah menceritakan tentang kesusahan, kehausan, kelaparan dan kedinginan yang dialami oleh beliau dan para shahabat.
Dalam riwayat Muslim disebutkan: Maka Hudzaifah berkata kepada orang itu,” Apakah engkau sanggup melakukan hal itu? Sungguh pada malam terjadinya Perang Ahzab, kami bersama Rasulullah saw bermalam dengan hembusan angin yang amat kencang dan sangat dingin!” Lalu Hudzaifah menceritakan kisah selanjutnya.
Dalam riwayat Hakim disebutkan: Hudzaifah berkata pada orang itu,” Janganlah engkau mengharapkan demikian !”. Lalu diceritakan oleh Hudzaifah kisah selanjutnya sebagaimana yang akan disebutkan pada Bab ‘ Ketabahan dalam Menghadapi Rasa Takut.”